Sudah lama hal itu terjadi. Delapan, atau sembilan tahun lalu. Aku tak ingat persis bagaimana kronologisnya, tapi yang jelas sangat kuingat akhir dari kejadian itu. (hampir) semuanya menjauh, termasuk orang yang telah kubuat tersinggung hatinya, kecuali mungkin mereka-mereka yang tak paham apa masalahku, sehingga mereka tak punya alasan (tak tahu?) mengapa mereka harus menjauhiku. Alasan “masih anak kecil” mungkin dapat jadi penyelamatku, karena wajar saja anak kecil membuat kesalahan yang mereka sendiri saja tak tahu apa itu benar atau salah. Hei, tapi saat itu aku telah baligh. Lalu?
Hari ini, klik demi klik pada 'kotak canggih' tak sengaja mengarahkan pandanganku ke foto-foto itu. Foto-foto masa SMA yang takkan terlupa menurut orang-orang namun takkan ingin diingat menurut pikiranku. Hm... tak semuanya, hanya beberapa yang kupikir sebaiknya hal tersebut tak ada.
Saat jenjang tengah & akhir masa HS aku kembali bertemu dengan ia, yang hatinya pernah (tak sengaja?) ku’sayat’. Ia masih seperti dulu. Agak tomboi. Ingin kusapa ia, seperti biasanya seseorang ingin bersapa dengan seorang kawannya. Tapi... lidah ini kaku. Rasanya ada ‘dinding’ tak terlihat yang membatasi diriku dengannya. Entah ia merasa atau tidak. Aku tak menemukan keanehan ini pada teman-teman yang lain. Ia tampak seperti biasa saja terhadap semuanya. Aku hanya temukan ‘dinding’ tersebut di antara aku & dia. Seakan saat denganku ia tak sebiasa ketika berpapasan dengan segudang teman-teman yang lain.
Akhirnya waktu benar-benar mengantarku sampai ke perpisahan HS. Lagi-lagi aku harus berkaku-kaku ria. Aku sendiri sebenarnya tak terlalu ingat apa kesalahanku. Kalaupun ingat, aku juga tak tahu & tak mengerti mengapa kata-kata yang menyakitkan hati seorang manusia bisa keluar begitu saja. Kenapa ya? Kurang kontrol lidah kah? Kesalahan saraf hipoglossus kah?
Diriku kembali ke foto-foto tersebut.
Terpampang foto-fotonya saat perpisahan. Aku tak berani melihatnya. Terutama matanya, yang seakan menyampaikan sesuatu yang tersirat padaku. Sesuatu yang mengatakan “diriku bersalah... aku punya salah besar...”
Sampai saat ini suara itu masih terngiang, makin buruk ketika teringat ataupun melihat wajahnya. Alhamdulillah seorang manusia biasa memiliki daya ingat terbatas. Saat lupa akan ia mungkin jadi saat yang bahagia :) Hehe, mungkin begitu...
Saat 8-9 tahun lalu itu, saat bersama-sama dengannya dulu mungkin aku hanya bercanda. Namun aku tak sangka, ia, juga teman-temannya jadi menjauh...
Cuek...
Sinis...
Kau tahu? Didiamkan lebih sakit.
Sakit banget, daripada sekedar diocehi panjang lebar kuadrat.
Mungkin aku pengecut. Aku tak (belum?) berani berterus terang kalau aku bersalah. Hal seperti ini mungkin masih kubawa-bawa, hingga sekarang. Aku takut bercanda. Aku takut timbul korban lagi gara-gara ‘tusukan’ lidahku. Dinginnya sikap mereka masih terbayang, walau tak terlalu jelas di ingatan.
Apa akan ada saat ketika aku tak takut lagi melihat wajahnya di suatu tempat, bahkan dari sebuah foto ia sekalipun?
~berharap teman-temanku tidak berkurang lagi, cukup saat itu saja :)~
050109; 00.36 WIB
Kota Cuko Pempek
No comments:
Post a Comment