Akhirnya, berhasil kuungkapkan juga.
Aku pernah menjadi seorang yang omongannya nyelekit. Itu terjadi saat aku masih duduk di bangku SD. Dan hal tersebut sukses membuat seorang teman baikku sakit hati & lama-kelamaan teman-teman barengku juga ikut menjauhiku.
Sejak saat itu aku sempat merasakan masa-masa di mana aku benar-benar memperhatikan apa yang kuucap. Aku tak berani berbicara banyak, apalagi kalau apa yang aku bicarakan itu sama sekali tak aku mengerti. Sering aku (terlalu?) waswas, aku sering mengandai-andai saat aku mencoba mengungkapkan sesuatu (entah komentar, kritik, bahkan pembicaraan sehari-hari) bagaimana kalau aku menjadi orang yang menerima omonganku tersebut, apakah yang hal kukatakan cukup tidak membuat sakit atau sebaliknya. Bahkan sempat-sempatnya aku berpikir saat orang tersebut tidak memberikan feedback kepadaku, aku pikir dia marah, atau malas, dll dsb. Heuh, capek ya.
Mungkin apa yang kulakukan agak kelewatan, sampai aku (merasa) terlalu pasif dalam pergaulan. Tidak berani memulai sebelum mengetahui orang tersebut memang benar-benar mau berteman denganku. Bahkan aku berpikir, hingga saat ini aku hanya memiliki sangat sedikit teman yang sangat dekat sekali. Aku takut mengecewakan banyak orang. Aku takut memulai sebuah pertemanan, meskipun aku sangat merindukan sekali masa-masa pertemanan saat SD tersebut. Tertawa riang & lepas bersama kawan main, saling berkeluh kesah dengan sesama, menikmati masa-masa indah di sekolah dengan orang-orang yang terasa senasib sepenanggungan.
Saat melihat kedekatan antara teman-temanku, aku sering merasa iri. Mereka terlihat leluasa. Mereka dapat menjadi diri mereka yang sebenarnya saat sedang bersama-sama kawan dekat mereka. Mereka terkadang saling mengolok-olok, meledek-ledek & itu membuat pertemanan mereka semakin dekat. Padahal, kalau aku pikir, olokan itu sebenarnya bisa lho membuat orang yang diolok itu sakit hati. Tapi aku tidak menemukannya kesakithatian tersebut pada mereka-mereka. Terkadang ketakutan ini membuatku merasa seperti ada yang mengganjal dada, membuat sesak & ingin dikeluarkan. Tapi tidak tahu bagaimana caranya...
Sejak dulu aku sering melihat, beberapa dari mereka seperti terpaksa menjalankan pertemanan. Senasib sepenanggungan, padahal hal tersebut tidak mereka inginkan untuk dikerjakan. Mereka sebenarnya ingin melakukan A, suatu hal yang dianggap benar, tapi demi kebersamaan, walau hati mereka menolak, akhirnya kesemuanya melakukan B. Rasanya aku tidak bisa seperti itu...
Ketidakberanian tersebut kadang disalahartikan beberapa orang menjadi suatu pengkotak-kotakkan, memilih-milih teman & kurang mau menerima yang lain. Sungguh, bukan begitu maksudku selama ini. Aku memang senang/mendambakan sekali hal yang bernama keakraban, kedekatan, persaudaraan dengan sesama. Tapi aku merasa takut untuk berada lebih jauh dari pertemanan biasa. Semakin dekat pertemanan itu, semakin besar pula kekecawaan yang mungkin akan timbul.
Kembali ke teman masa SD tadi. Aku sudah pernah meminta maaf kepadanya, walau aku kadang merasa rasa maaf itu nggak sebanding dengan kesalahan yang aku buat ke dia, tidak sebanding dengan luka yang ia dapatkan gara-gara lidah tak terkontrol ini. Tapi aku patut bersyukur, kalau tidak ada kejadian itu, mungkin mulut yang jumlahnya cuma 1 ini akan lebih banyak bekerja & menghasilkan lebih banyak korban lagi (baik yang terlihat maupun yang terselubung) daripada telinga yang jumlahnya ada 2 ini.
Alhamdulillah.
Makasih kawanku, RDa, buat semuanya. Maafkan aku ya.
ya Allah, berikanlah diriku pertemanan yang indah. izinkan aku kembali merasakan indahnya kebersamaan itu, tanpa ada paksaan dari masing-masing orang...
~saat-saat bangkit dari keterpurukan~
ps: terimakasih sudah mau membaca sampai habis :DD
No comments:
Post a Comment