Thursday 23 October 2014

Rizqi vs Amal


Web penyejuk jiwa yang saya dapat juga dari socmed teman,
oleh ustadz Salim A Fillah : 

Wednesday 22 October 2014

Kita Adalah Sisa-sisa Keikhlasan Yang Tak Diikhlaskan



Entah kenapa saya seneng banget sama tulisan di bawah ini. Kebaca di socmednya temen udah agak lama, cuma baru sekarang niat bener buat nge repost nya. Katanya sih ini lirik lagu dari sebuah grup pemusik bernama "Payung Teduh", dengan judul lagunya seperti yang saya jadikan judul untuk postingan ini. Lagunya belum pernah saya dengar. Mungkin yang pernah kuliah di Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Indonesia ada yang kenal dengan grup ini? 

Here it is

*** 
Untuk laki-laki yang berkemas pergi... 

Bagaimana jika kita tidak benar-benar berjumpa? Seperti para pengemis tidak benar-benar mengemis. Guru tidak benar-benar mendidik. Dokter tidak benar-benar menyembuhkan. Nelayan tidak benar-benar melaut? 

Bagaimana jika siang tak benar-benar terang. Kedua kaki tak benar-benar melangkah beriringan. Kedai tidak benar- benar ramai. Dan kita tidak benar-benar berjumpa? 

Ku kira kita tidak benar-benar saling menatap. Tidak benar-benar menopang dagu seraya mendengar. Tidak benar-benar melipat tangan sambil berbincang. Angin tidak benar-benar kering. Langit tidak benar-benar biru. Ronaku tidak benar-benar merah jambu. 

Mungkin, kita tidak benar-benar menyangsikan kehampaan. Kita tidak benar-benar memilih dan memutuskan. Kita tidak benar-benar melambai dan mengucap selamat tinggal. 

Bahkan, kita tak benar-benar mengerti arti pertemuan dan perpisahan? 

Mungkin, kita memang tidak benar-benar berjumpa. 

Dan rasa itu tidak benar-benar sama..

Update 4 Juli 2016 :

Setelah lihat dari Youtube, terjawab sudah. Tulisan di atas ternyata bukan lirik lagu. Ini adalah tulisan Sarah Tsaqofa.

Sudah Siapkah ketika Orangtua Kita Berkata Jujur?

Saya copas postingan ini dari status FB dr. Piprim SpA(K). Semoga bermanfaat. Selamat membaca...

***

Kemarin lalu, saya bertakziah mengunjungi salah seorang kerabat yang sepuh. Umurnya sudah 93 tahun. Beliau adalah veteran perang kemerdekaan, seorang pejuang yang shalih serta pekerja keras. Kebiasaan beliau yang begitu hebat di usia yang memasuki 93 tahun ini, beliau tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid untuk Maghrib, Isya dan Shubuh.

Qadarallah, beliau mulai menua dan tidak mampu bangun dari tempat tidurnya sejak dua bulan lalu. Sekarang beliau hanya terbaring di rumah dengan ditemani anak-anak beliau. Kesadarannya mulai menghilang. Beliau mulai hidup di fase antara dunia nyata dan impian. Sering menggigau dan berkata dalam tidur, kesehariannya dihabiskan dalam kondisi tidur dan kepayahan.

Anak-anak beliau diajari dengan cukup baik oleh sang ayah. Mereka terjaga ibadahnya, berpenghasilan lumayan, dan akrab serta dekat. Ketika sang ayah sakit, mereka pun bergantian menjaganya demi berbakti kepada orangtua.

Namun ada beberapa kisah yang mengiris hati; kejadian jujur dan polos yang terjadi dan saya tuturkan kembali agar kita bisa mengambil ibrah.

Terkisah, suatu hari di malam lebaran, sang ayah dibawa ke rumah sakit karena menderita sesak nafas. Malam itu, sang anak yang kerja di luar kota dan baru saja sampai bersikeras menjaga sang ayah di kamar sendirian. Beliau duduk di bangku sebelah ranjang. Tengah malam, beliau dikejutkan dengan pertanyaan sang ayah, "Apa kabar, pak Rahman? Mengapa beliau tidak mengunjungi saya yang sedang sakit?" tanya sang ayah dalam igauannya.

Sang anak menjawab, "Pak Rahman sakit juga, Ayah. Beliau tidak mampu bangun dari tidurnya." Dia mengenal Pak Rahman sebagai salah seorang jamaah tetap di masjid.

"Oh...lalu, kamu siapa? Anak Pak Rahman, ya?" tanya ayahnya kembali.
"Bukan, Ayah. Ini saya, Zaid, anak ayah ke tiga."
"Ah, mana mungkin engkau Zaid? Zaid itu sibuk! Saya bayar pun, dia tidak mungkin mau menunggu saya di sini. Dalam pikirannya, kehadirannya cukup digantikan dengan uang," ucap sang ayah masih dalam keadaan setengah sadar.

Sang anak tidak dapat berkata apa-apa lagi. Air mata menetes dan emosinya terguncang. Zaid sejatinya adalah seorang anak yang begitu peduli dengan orangtua. Sayangnya, beliau kerja di luar kota. Jadi, bila dalam keadaan sakit yang tidak begitu berat, biasanya dia menunda kepulangan dan memilih membantu dengan mengirimkan dana saja kepada ibunya. Paling yang bisa dilakukan adalah menelepon ibu dan ayah serta menanyakan kabarnya. Tidak pernah disangka, keputusannya itu menimbulkan bekas dalam hati sang ayah.

Kali yang lain, sang ayah di tengah malam batuk-batuk hebat. Sang anak berusaha membantu sang ayah dengan mengoleskan minyak angin di dadanya sembari memijit lembut. Namun, dengan segera, tangan sang anak ditepis.

"Ini bukan tangan istriku. Mana istriku?" tanya sang ayah.
"Ini kami, Yah. Anakmu." jawab anak-anak.
"Tangan kalian kasar dan keras. Pindahkan tangan kalian! Mana ibu kalian? Biarkan ibu berada di sampingku. Kalian selesaikan saja kesibukan kalian seperti yang lalu-lalu."

Dua bulan yang lalu, sebelum ayah jatuh sakit, tidak pernah sekalipun ayah mengeluh dan berkata seperti itu. Bila sang anak ditanyakan kapan pulang dan sang anak berkata sibuk dengan pekerjaannya, sang ayah hanya menjawab dengan jawaban yang sama.

"Pulanglah kapan engkau tidak sibuk."

Lalu, beliau melakukan aktivitas seperti biasa lagi. Bekerja, shalat berjamaah, pergi ke pasar, bersepeda. Sendiri. Benar-benar sendiri. Mungkin beliau kesepian, puluhan tahun lamanya. Namun, beliau tidak mau mengakuinya di depan anak-anaknya.

Mungkin beliau butuh hiburan dan canda tawa yang akrab selayak dulu, namun sang anak mulai tumbuh dewasa dan sibuk dengan keluarganya.

Mungkin beliau ingin menggenggam tangan seorang bocah kecil yang dipangkunya dulu, 50-60 tahun lalu sembari dibawa kepasar untuk sekadar dibelikan kerupuk dan kembali pulang dengan senyum lebar karena hadiah kerupuk tersebut. Namun, bocah itu sekarang telah menjelma menjadi seorang pengusaha, guru, karyawan perusahaan; yang seolah tidak pernah merasa senang bila diajak oleh beliau ke pasar selayak dulu. Bocah-bocah yang sering berkata, "Saya sibuk...saya sibuk. Anak saya begini, istri saya begini, pekerjaan saya begini." Lalu berharap sang ayah berkata, "Baiklah, ayah mengerti."

Kemarin siang, saya sempat meneteskan air mata ketika mendengar penuturan dari sang anak. Karena mungkin saya seperti sang anak tersebut; merasa sudah memberi perhatian lebih, sudah menjadi anak yang berbakti, membanggakan orangtua, namun siapa yang menyangka semua rasa itu ternyata tidak sesuai dengan prasangka orangtua kita yang paling jujur.

Maka sudah seharusnya, kita, ya kita ini, yang sudah menikah, berkeluarga, memiliki anak, mampu melihat ayah dan ibu kita bukan sebagai sosok yang hanya butuh dibantu dengan sejumlah uang. Karena bila itu yang kita pikirkan, apa beda ayah dan ibu kita dengan karyawan perusahaan?
 
Bukan juga sebagai sosok yang hanya butuh diberikan baju baru dan dikunjungi setahun dua kali, karena bila itu yang kita pikirkan, apa bedanya ayah dan ibu kita dengan panitia shalat Idul Fitri dan Idul 'Adha yang kita temui setahun dua kali?

Wahai yang arif, yang budiman, yang penyayang dan begitu lembut hatinya dengan cinta kepada anak-anak dan keluarga, lihat dan pandangilah ibu dan ayahmu di hari tua. Pandangi mereka dengan pandangan kanak-kanak kita. Buang jabatan dan gelar serta pekerjaan kita. Orangtua tidak mencintai kita karena itu semua. Tatapilah mereka kembali dengan tatapan seorang anak yang dulu selalu bertanya dipagi hari, "Ke mana ayah, Bu? Ke mana ibu, Ayah?"

Lalu menangis kencang setiap kali ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.

Wahai yang menangis kencang ketika kecil karena takut ditinggalkan ayah dan ibu, apakah engkau tidak melihat dan peduli dengan tangisan kencang di hati ayah dan ibu kita karena diri telah meninggalkan beliau bertahun-tahun dan hanya berkunjung setahun dua kali?

Sadarlah wahai jiwa-jiwa yang terlupa akan kasih sayang orangtua kita. Karena boleh jadi, ayah dan ibu kita, benar-benar telah menahan kerinduan puluhan tahun kepada sosok jiwa kanak-kanak kita; yang selalu berharap berjumpa dengan beliau tanpa jeda, tanpa alasan sibuk kerja, tanpa alasan tiada waktu karena mengejar prestasi.

Bersiaplah dari sekarang, agar kelak, ketika sang ayah dan ibu berkata jujur tentang kita dalam igauannya, beliau mengakui, kita memang layak menjadi jiwa yang diharapkan kedatangannya kapan pun juga.
[Rahmat Idris]

Smoga mnjadi bahan renungan dan pembelajaran.

Monday 13 October 2014

I Wonder If.....

Having these 2 months very surprising. Nano nano. Banyak kejadian ga disangka-sangka. Pelajaran berharga yang terlihat sepele namun justru di situ lah awal dari kesuksesan-kesuksesan berikutnya. Sederhana itu bahagia. Apa pun yang kau miliki sekarang, syukuri lah, belum tentu yang kita punya itu dimiliki orang lain juga. Sebaliknya, yang orang punya tapi kita nggak. Segalanya ada alasan yang Allah SWT sembunyikan. Dan perlahan tapi pasti kedua mataku Ia tunjukkan alasan-alasan tersebut.


Ah, kurang apa lagi sih yang mau kau keluh, keluh,

dan keluhkan
   lagiNisa...

Banyak nikmat yang kau nikmati tapi ga kau sadari. Alhamdulillah :)


Tuesday 5 August 2014

Debat Kusir? Hati-hati!

I think... | No, imho... | No, frankly saying... ... ... ..
 
Setelah mengamati kejadian di mana-mana, saya cuma mau bilang "astaghfirullah". Aya aya waeeee lah *geleng-geleng kepala*


Subhanallah. Heran, banyak orang menjelek-jelekkan orang lain, si A jelek-jelekin si B, kayak si A itu lebih bagus aja daripada si B. Kalo gentle, si A lawan lah si B dengan sikap ksatria, dalam kompetisi yang sama, bisa menang bener ga si A ngelawan si B? Terbukti ngga si A itu emang lebih oke kualitasnya daripada si B? Walau si A menang pun, cara menjelek-jelekkan itu sendiri udah ga terpuji, buat orang ga respek. Dan, kalo ngata-ngatain itu cuma semakin memperjelas bahwa si A itu lemah, semakin memperjelas pake BANGET kalo si A itu TIDAK MAMPU. Lha wong beraninya ngatain doank, bukannya bersaing secara sehat. Ckckck...


Saya mengambil intisari dari link ini :


***
 

“Aku menjamin sebuah rumah di pinggir jannah (surga) bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan berkepanjangan meskipun ia dalam kebenaran (al haq), juga sebuah rumah di tengah jannah bagi siapa saja yang meninggalkan berbohong walaupun ia sedang bercanda, serta sebuah rumah di puncak jannah bagi siapa saja yang berakhlak mulia.” (HR. Abu Dawud, Dinyatakan Hasan shahih oleh Syaikh Al Albani)

Seseorang tidak akan merasakan hakikat iman sampai ia mampu meninggalkan perdebatan yang berkepanjangan meskipun ia dalam kebenaran, dan meninggalkan berbohong meskipun hanya bercanda padahal ia tahu seandainya ia mau ia pasti menang dalam perdebatan itu” (Kanzul Ummal juz 3 hal 1165)

Imam Ibnu Wahab berkata : “Aku mendengar Imam Malik bin Anas mengatakan: Perdebatan dalam ilmu akan mengeraskan hati dan menyebabkan kedengkian” (Jaami’ al Uluum wak Hikam 11/16)

Di antara tanda sebuah diskusi telah berubah menjadi debat kusir
1.Nada suara mulai meninggi
2.Tulisan mulai menggunakan istilah yang emosional
3.Mulai muncul kata-kata ejekan atau sebutan yang merendahkan
4.Mengulang-ulang argumentasi
5.Mengingkari aksioma
6.Menolak logika
7.Mulai melibatkan perasaan dan emosi yang berlebihan

* aksioma = pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa harus melalui pembuktian

***

Kalo ada pepatah lama yang bilang "diam itu emas", keadaan seperti ini lah yang pas untuk pepatah tersebut. Diam/menghindar saat diskusi berubah menjadi debat kusir yang tidak berguna, yang banyak mudharatnya. Sebenarnya kalo diri kita berada di pihak yang perannya sebagai pengamat kejadian tersebut & MENGETAHUI dengan jelas siapa yang benar siapa yang salah (secara Islam, secara logika lah minimal), ada rasa gemes, geram, ga rela kalo kebenaran diinjak-injak. Lalu, apa solusinya setelah diam/menghindari debat kusir tersebut? Ada yang tau? Oke, tiap kepala orang isinya berbeda-beda, ga ada yang bener-bener sama persis. Tapi kalo diskusi itu udah jatuh jadi debat kusir, ya udah lah,ga sehat lagi itu diskusinya, melenceng dari tujuan yang seharusnya.

Tulisan ini semata-mata untuk saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Yang benar datang dari Allah SWT, yang salah datang dari penulis. Sekian, semoga Allah SWT melindungi kita semua. Aamiin.

Friday 25 July 2014

Make It Simple

"Legoooowo = let ittt gooo, wo"?
"Ikhlas lah, udah mengalami kekalahan koq masih ngoyo"

dst, dst...

Haha. Santai men. Sebagai sosok yang ksatria, menang ataupun kalah pasti diterima dengan legowow koq, lapang dada, asalkan itu FAIR. Sekarang keadaan saat ini ada kecurigaan dari pihak numero uno bahwa terdapat kecurangan yang dibiarkan. Yah biarkan saja si uno jalankan proses secara benar, secara hukum. Si duo & tim pendukung ga usah gentar, ga usah takut tha? Toh caranya benar kan. Justru jika memang si duo ada di pihak yang benar, ga ada masalah si uno mau ngapain aja. Ga perlu gentar. Ga perlu berkata-kata tidak santun. Ga perlu ngomong si ini fitnah si itu fitnah. Biarkan hukum tegakkan keadilannya. Kalo dirimu memang benar ga perlu takut.

Make it simple.

Saturday 19 July 2014

Doa Untuk Teman

Masyaa Allah, keren banget! Baru dapet info hasil baca-baca postingan di temlen. Ada kawan (yang sebenarnya tidak dekat, namun Allah SWT telah temukan kami via jejaring sosial bernama blog) yang mau menjadi relawan medis ke....... Gaza!

Saya ga tahu terbuat dari apa pikirannya, yang pasti itu adalah keputusan yang sulit banget, terutama buat meyakinkan keluarganya, orang terdekatnya, mungkin juga terhadap dirinya sendiri. Tapi, kalo diri dia sendiri sudah mantab, ikhlas untuk mencari ridho Allah SWT, ga ada yang ga mungkin. Saya bingung mau ngomong apa. Excited! Kagum. Takjub. Keren. Apa lagi ya?

Saya pikir, hal ini bukan untuk mengkeren-kerenkan dirinya. Bukan tentang berlomba siapa yang paling bagus tugas menggambarnya waktu sekolah dulu, bukan sekedar dapat nilai tertinggi ujian lari maraton di mata pelajaran olahraga, bukan juara umum lomba sepakbola seantero fakultas, bukan dapat gelar doktor di universitas luar negeri yang kualitasnya peringkat 10 besar sedunia. Ini sebuah keputusan yang jauh dari hal duniawi, hal yang jauh lebih dalam dan bermakna dari itu. Pergi ke daerah konflik, ledakan di sana sini, darah dan tubuh terkapar tidak bernyawa menjadi santapan mata sehari-hari. Keluar dari comfort zone. Say goodbye kepada nasi sayur asam, udang asam manis, pizza, fetucini yang enak dan mengenyangkan, tidur nyenyak di kasur empuk, cuci mata di mall lihat blouse keluaran terbaru, tertawa nonton acara favorit di ruang tivi bersama ayah, ibu, adik, kakak.....

Tentu dengan tekad bulat, kakimu tegap melangkah, menolong saudara seiman yang terzalimi di belahan dunia lain sana agar mampu kembali melawan para la'natullah. Jalan tersebut juga mendekatkan seorang makhluk Allah SWT dengan tujuan akhir yang paling indah, yang paling diimpikan. Mati syahid.

Teman. Semoga niat dirimu tetap lurus, tidak berbelok akibat pujian manusia semata, tidak melenceng ke pikiran diri begitu hebat dibandingkan mereka yang belum bisa menyumbang apa-apa selain doa. Semoga. Aamiin... Saya bangga denganmu, walau kita ga ada keterikatan hati yang kuat layaknya sahabat, walau kita cuma teman yang sangat biasa saja.

Thursday 17 July 2014

Sedikit Tentang CHSI

"Suami macam apa yang lebih percaya kata orang lain daripada kata istrinya yang jelas-jelas baik dan lurus?"

Itu twit hasil saya nonton #chsi di tivi. Gemes saya dengan mas Bram, suami yang tidak tegas terhadap mantan selingkuhannya, masih aja diladenin. Lalu istri kelewat sabar, ga main tangan dengan wanita penggoda yang wajahnya empuk banget buat di..... ah syudahlah.
 
 Saya yang kurang sabar ini mungkin ga mengerti level sabar tingkat tinggi seperti bunda Hana. Dan memang bener sih, kalo main tangan bakal membuat level kita sama rendahnya dengan wanita penggoda tersebut. Tapi ya setidaknya ada yang bisa dia perbuat demi keutuhan rumah tangganya. Benar kata mba Asma Nadia sang penulis, Hana terlalu naif.

Kenapa saya masih menonton sinetron yang saya sendiri katakan sudah mulai agak berlebihan konfliknya? Karena penulis #chsi sendiri mengatakan bahwa Hana dan Karin memang ada di dunia nyata. Saya ingin tahu gimana Hana bisa survive dalam badai kapal pesiarnya bersama nakhoda, sang suami.

Saran saya buat orang yang kebetulan punya kisah yang mirip dengan mereka, sebagai pembaca dan penonton yang masih kurang ilmunya tapi ingin mencoba objektif :

Suami harus lebih tegas menghadapi mantan selingkuhan, apapun caranya. Suami harus memikirkan hati istri yang sudah terlanjur terluka dalam, bukan tergores lagi, untungnya tidak membusuk dan bernanah (kiasan dari menyimpan dendam sehingga hati menjadi gelap).

Di sini lah saya benar-benar menangkap peran pentingnya menikah dengan memilih agama di atas yang lainnya (harta, paras, suku). Dengan sendirinya, agama akan melindungi pasangan suami istri dari rasa waswas, cemas tak berujung, tidur yang tidak tenang, karena masing-masing dari mereka tahu bagaimana berinteraksi dengan lawan jenis yang tidak melanggar aturan Allah, mereka tahu cara menjaga diri dari perbuatan keji. Dan haloo, suami tipe-tipe mas Bram, Anda beruntung dapat istri sholehah seperti bunda Hana. Tolong lebih buka telinga terhadap istrinya. Jangan mudah percaya dengan kata-kata orang lain apalagi mantan selingkuhan Anda. Ingat, kalian pasutri, harus percaya satu sama lain.

Walaupun pasangan yang sudah menikah berdasarkan agama (seperti Hana dan Bram yang orang lain katakan pasangan sempurna, sama-sama baik dan sholeh), pun ga luput dari cobaan. Di situ lah mereka diuji, seperti ayat berikut:

"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, "Kami telah beriman," dan mereka tidak diuji lagi?" QS 29:2

Ayat di atas minimal menguatkan kita agar ingat bahwa Allah SWT sayang kita, derajat kita ingin dinaikkan dengan ujian. Pada akhirnya, masalah ga ada yang di luar batas kesanggupan hambaNya. Pasti ada jalan keluar walau semua terlihat buntu...

 Lalu bunda Hana, sebagai istri yang sholehah, sebaiknya ikut apa kata suami, berbakti  lah kepada suami. Kalau minta dihargai pendapat terus, hati-hati engkau durhaka terhadap suami. Tentu istri yang sholehah tau mana perintah yang sesuai syariat, mana yang melanggar syariat. Yang sesuai syariat tak pantas diabaikan. Bunda Hana semoga level kesabaranmu ga turun level ya.


 Sulit mengaplikasikannya, apalagi saya yang belum diberi kesempatan jadi istri orang. Semoga Allah SWT memberi kemudahan bagi hambaNya yang berniat dan mau bersungguh-sungguh meraih ridhoNya. Aamiin.


"Apapun kekurangan pasangan, tak pantas dibayar dengan sebuah perselingkuhan" Asma Nadia


Wednesday 16 July 2014

Faded Away

Sedih saat mengetahui beberapa mimpi yang benar-benar saya impikan, kandas. Ga bisa putar balik waktu. Allah ga suka sama makhlukNya yang berandai-andai, itu tanda kufur nikmat. Ga boleh begitu ya. Saya tau saya ga bisa & ga boleh jalan di tempat. Tapi diri ini ga punya semangat lagi. Apa yang bisa membuat saya bisa bergerak ya?

Ya Allah, ke mana perginya semangat saya? Semakin lama semakin menghilang. Semakin luntur. Semakin pudar....

Setengah Hidup

Ya Allah saya begitu benci ada sifat seperti ini pada diri saya. Sifat buruk. Kenapa saya harus punya sifat rendah diri? Saya juga manusia, tau ada yang ga beres dengan kelakuan beberapa orang terhadap saya. Perlakuan mereka semakin memperparah sifat rendah diri saya yang sudah ada sejak saya masih sekolah dasar. Saya semakin merasa sendirian, ga punya tempat bersandar. Saya jadi ga punya semangat menghadapi esok hari. Saya harus apa? Saya harus gimana?



Mereka ga ada bilang apa-apa ke saya salah saya apa. Saya merasa ga melakukan apa-apa. Tolong kasitau, tidak usah diam-diam & berlaku seperti orang asing, padahal kenal tapi ga kenal.

Saya harus seperti ini sampai kapan?

Ya Allah, saya tersiksa banget.

Sunday 15 June 2014

Nyata vs Abstrak

"Sepertinya sudah hilang minat di bidang itu :)))) Mari move on."

Saya suka bangettt belajar tentang kejiwaan. Psikopatologi, mood, afek, ppdgj, kepribadian. Sudah sejak jaman perkuliahan. Tapi entah kenapa sekarang minat itu seperti menghilang. Ya, hilang minat. Selain kasusnya jarang ditemukan di praktek sehari-hari (kalo setiap hari ada pasien ini, saya jadi parno dengan lingkungan sekitar, jangan-jangan....... :-S), penegakan penyakit apanya juga abstrak dibanding bidang lain yang bisa kita dengar lihat raba rasakan :-p Saking terpaparnya dengan kasus fisik yang nyata, saking jarangnya ketemu orang dengan jiwa terganggu & nyata terlihat gejalanya, hmmm. Saya jadi berpikir ulang untuk lebih mendalami bidang ini.

Kejiwaan seharusnya jadi hal yang spesial. Ia jarang dikuasai banyak para spesialis. Jika ada apa-apa mengenai hal ini, insyaa Allah jadi orang nomer 1 yang pertama dicari. Lalu, selain praktek, hal lain yang bisa saya lakukan adalah mengajar. Sebuah impian masa lalu yang sampe sekarang masih ingin direalisasikan! Tapi (lagi), kasus nyata & bisa terdeteksi semua anggota panca indera sepertinya lebih menarik.

Istikharah kah? Kita lihat saja nanti.

One Twit One Post

Indeed!
Hehe. Terinspirasi dari One Day One Jus nih :p Okeh, sebenarnya banyak buanget hal yang mau saya tumpahkan ke dalam cerita tak bersuara di blog ini, tapi selalu & selalu ditunda-tunda. Kadang bingung harus nulis yang gimana. Hmmmm. Judul di atas adalah tekad saya yang sudah pernah terpikirkan beberapa waktu lalu tapi baru akan terwujud insyaa Allah dalam waktu dekat ini. Judul tersebut semoga bisa jadi motivasi saya untuk menulis dengan rajin & lancar. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.

Tujuan saya menulis?
Pertama, sebagai pemuas keinginan menulis pakai Twitlonger yang nyebelin karna untuk membukanya harus klik link dulu (dengan konsekuensi harus pakai fasilitas wifi yang belum tentu ada di mana pun saya berada).
Kedua, menulis di blog terlalu panjang & harus berpikir lama "enaknya nulis apa ya?" dan harus berakhir dengan ga jadi nulis. Saya juga jarang dengan sengaja menulis di notes lalu kemudian mempostkannya di blog. Itu sebuah hal yang dilakukan dengan keniatan yang sangat besar sekali *agak lebay tapi pas untuk seorang diri bernama saya*.
Ketiga, menulis di twitter memang enak dibaca tanpa Twitlonger, harus 140 karakter memang singkat, jelas, tepat sasaran, tapi belum terpuaskan hal apa yang benar-benar mau saya sampaikan.
Keempat, mengasah keterampilan menulis. Suatu saat hal ini akan terpakai, saya percaya.
Kelima, orang hobi baca seharusnya juga hobi menulis, bisa membagi hal bermanfaat apa yang sudah ia baca ke orang lain itu luar biasa.
Keenam, pemulih stres, pelega pikiran, mungkin akan jadi penyelesaian masalah karena berhasil nemuin titik temu di dalam benang yang ruwet.
Ketujuh, melatih menulis dengan sistematis, melatih menyampaikan ide dengan runut & tidak buat orang pusing membacanya. Malah jangan-jangan melatih kita untuk menyelesaikan masalah sehari-hari.

Hmmmmm. Sementara itu dulu deh.

Okeh. Doakan saya ya! *ala benteng Takeshi*

Bismillah :D

Friday 30 May 2014

I Love May!

I love May! Alhamdulillah. Makasi ya Allah. Banyak hal di luar dugaan yang terjadi di bulan Mei ini. Sungguh, itu adalah kuasaMu!

Btw aku jadi ngerti nih maksud kalimat
"Selain punya kapabilitas, kamu jga harus punya akseptabilitas"

Itu kalimat berasal dari almarhum kakek, yang disampein melalui omku ke aku.


Intinya, suatu saat kebaikan-kebaikan yang sudah kamu lakukan itu bakal memberi hasil. Hanya Allah Yang Tahu kapan hasil itu akan timbul & memberimu keberuntungan. Just do & see.



Tuesday 22 April 2014

Laki-laki vs Wanita, Siapa yang Lebih Mulia?

"I'm superior, aint I??"

Bismillah.

Sebenernya tangan ini gateeeeeeel pengen nulis dari kapan tau, tapi hati ini belum kunjung tergerak, fiuh. Akhirnya melihat beberapa status teman-teman di socmed, sekaligus teringat isu yang santer tentang kesetaraan gender, ladies first, blablabla pada masyarakat luas, ditambah hari ini hari Kartini pula (berhubung mulai nulisnya sudah tengah malam jadi tulisan ini terpublish di tanggal 22 April ;-D), saya mencoba menuliskan tentang apa yang sudah saya ketahui dari apa yang telah saya baca. Tulisan di bawah ini adalah hasil copas twit saya, dengan beberapa perbaikan pengetikan huruf & kata supaya lebih nyaman dibaca.

***

1. Mari buka QS Al-Hujuraat [49]:13.

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu, dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal." (QS49:3)

Di mataNya, laki-laki & wanita adalah sama. Fitrah laki-laki & wanita berbeda. Takwa masing-masing lah yang menentukan mulia atau nggaknya laki-laki dan wanita tersebut.

2. Level takwa bakal naik melalui fitrah yang udah laki-laki & wanita itu punyai. Masing-masing sudah punya jalan tersendiri gimana caranya untuk menjadi orang yang mulia yaitu orang yang bertakwa.

3. Contoh: Laki-laki fitrahnya cari nafkah untuk keluarga; wanita mengandung, mendidik anak-anaknya. Jadi? Yap, laki-laki & wanita BERBEDA pada fitrahnya.

4. "Dengan kata lain, laki-laki bisa jadi lebih mulia daripada wanita karena takwa. Sebaliknya, wanita bisa jadi lebih mulia dari lelaki bila takwanya lebih".

5. Yuk liat juga QS Annisaa' [4]:32 . Sudah?

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.  (QS 4: 32)
 
6. "Alqur'an menegaskan secara gamblang bahwa bagi laki-laki ada jalur pahala & bagi wanita ada jalur pahalanya pula. (Cont)

7. (Cont) Tidak perlu saling iri satu sama lain, karena mereka BUKAN berkompetisi di jalur yang sama"

8. Jadi kalo ditanya siapa sih yang lebih mulia, laki-laki atau wanita, sudah tahu jawabannya yes :)

9. Beberapa twit tadi terinspirasi karena hari ini adalah hari Kartini & teringat pernah terbaca pada buku ustadz . Recommended twips :)

Ini dia bukunya twips :D

10. Yang memakai tanda kutip itu disadur dari buku , bukan dari Alqur'an.

***

Sekian tulisan ini. Yang benar dari Allah SWT, yang salah berasal dari saya. Semoga bermanfaat.

Sumber gambar dari gugel.